Nirwana Tunggal - Dalam perjalanan hidup, kita sering kali mendengar ungkapan-ungkapan positif seperti "Stay positive," "Everything happens for a reason," atau "Think happy thoughts." Pemikiran positif memang bisa memberikan semangat dan memotivasi, tetapi terkadang, ketika dipaksakan secara berlebihan, hal ini dapat menjadi sesuatu yang disebut sebagai toxic positivity.
Toxic
positivity bukanlah sesuatu yang sering kita dengar, tetapi memiliki dampak
yang cukup signifikan pada kesejahteraan mental seseorang. Berikut ini, kita
akan menjelajahi apa sebenarnya yang dimaksud dengan toxic positivity dan bagaimana kita dapat mengidentifikasinya.
Apa Itu Toxic Positivity?
Sumber: Unplash |
Dalam
konteks ini, positivitas menjadi tidak sehat karena memaksa seseorang untuk
menyembunyikan atau menutupi perasaan alami mereka. Toksik positivitas juga
sering mendorong untuk melihat sisi positif dari segala hal, tanpa memberikan
ruang bagi pengalaman emosi yang kompleks dan nyata.
Pentingnya
memahami konsep toxic positivity terletak pada pengakuan bahwa kehidupan
manusia tidak selalu penuh dengan momen-momen bahagia. Menerima kenyataan bahwa
setiap orang memiliki perasaan yang bervariasi, termasuk yang kurang
menyenangkan, adalah langkah pertama menuju kesehatan mental yang seimbang.
Toxic
positivity bukanlah bentuk dukungan yang sejati, melainkan lebih mirip
pemaksaan standar tertentu tentang bagaimana seseorang seharusnya merespon
kehidupan. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk lebih memahami tanda-tanda
dan dampak dari toxic positivity agar kita dapat menciptakan lingkungan yang
lebih mendukung dan memahami satu sama lain.
Ciri-Ciri Toxic Positivity
Penolakan Terhadap Emosi Negatif
Salah
satu ciri utama dari toxic positivity adalah penolakan terhadap segala bentuk
emosi negatif. Individu yang menganut pola pikir ini cenderung menganggap bahwa
merasakan sedih, marah, atau cemas adalah sesuatu yang seharusnya dihindari
atau disembunyikan.
Mereka
mungkin menggunakan frasa-frasa seperti "Jangan terlalu larut dalam
kesedihan" atau "Cobalah untuk tetap bahagia" tanpa memberikan
ruang bagi orang lain untuk mengakui dan meresapi perasaan mereka. Dalam
konteks ini, emosi negatif dianggap sebagai suatu kelemahan yang harus
disembunyikan daripada sebagai bagian alami dari pengalaman manusia.
Minimnya Empati Terhadap Kesulitan Orang Lain
Toksik
positivitas juga sering dapat diidentifikasi melalui kurangnya empati terhadap
kesulitan orang lain. Individu yang terlalu menganut pola pikir ini mungkin
cenderung memberikan respons yang terlalu optimis atau mengabaikan kesulitan
yang sebenarnya dihadapi oleh orang lain.
Misalnya,
mereka mungkin memberikan nasihat seperti "Semuanya akan baik-baik
saja" tanpa memahami atau mengakui kompleksitas situasi yang dihadapi oleh
individu tersebut. Kekurangan empati ini dapat menciptakan perasaan kesepian
dan ketidakpengertian bagi orang yang mengalami masalah, karena mereka tidak
merasa didukung atau dipahami secara mendalam.
Kesulitan Menerima Kekalahan atau Kegagalan
Individu
yang terjebak dalam toxic positivity cenderung sulit menerima kenyataan
kegagalan atau kekalahan. Mereka mungkin merasa perlu untuk selalu menunjukkan
kesuksesan dan kebahagiaan, bahkan ketika menghadapi situasi sulit.
Ciri
ini sering kali termanifestasi dalam upaya untuk menyembunyikan kegagalan atau
merasa malu ketika menghadapi tantangan. Hal ini dapat menciptakan tekanan
tambahan pada diri sendiri dan orang lain untuk selalu menunjukkan citra positif,
tanpa memberikan ruang bagi ketidaksempurnaan atau kegagalan dalam kehidupan.
Penting
untuk mengakui bahwa kegagalan adalah bagian alami dari pengalaman hidup dan
bisa menjadi peluang untuk belajar dan tumbuh. Memahami bahwa setiap orang
memiliki masa sulit dan kekalahan adalah langkah penting menuju kesehatan
mental yang lebih baik.
Mengabaikan Kesehatan Mental
Ciri
lain dari toxic positivity adalah kecenderungan untuk mengabaikan atau
meremehkan masalah kesehatan mental. Individu yang terlalu menganut pemikiran
positif sering kali tidak memberikan perhatian yang cukup pada aspek-aspek
kesehatan mental mereka sendiri atau orang lain di sekitar mereka.
Mereka
mungkin tidak memandang serius gejala stres, kecemasan, atau depresi, dengan anggapan
bahwa semuanya dapat diselesaikan dengan "berpikir positif." Hal ini
dapat berdampak negatif pada kesejahteraan mental, karena mengabaikan perasaan
dan memaksakan sikap positif dapat menutup pintu untuk mencari pertolongan atau
dukungan yang diperlukan.
Mengesampingkan Realitas Kehidupan
Ciri
toxic positivity juga tercermin dalam kecenderungan untuk mengesampingkan
realitas kehidupan. Individu yang terlalu menganut pola pikir ini mungkin
enggan menghadapi ketidakpastian atau kesulitan yang mungkin terjadi.
Mereka
bisa menciptakan citra palsu bahwa kehidupan selalu harus penuh dengan
kebahagiaan dan kesuksesan tanpa mengakui bahwa setiap orang memiliki tantangan
dan masa sulit. Mengabaikan realitas kehidupan dengan hanya fokus pada sisi
positif dapat membuat individu kehilangan koneksi dengan pengalaman manusiawi
yang sebenarnya.
Penting
untuk menghargai keberagaman pengalaman manusia dan memahami bahwa kehidupan
memiliki aspek positif dan negatif. Menerima realitas kehidupan dengan sikap
terbuka dan bijak dapat memungkinkan kita tumbuh dan berkembang sebagai
individu yang lebih kuat.
Menilai Orang Lain Berdasarkan Kesuksesan Materi atau Citra
Toksik
positivitas juga dapat tercermin dalam kecenderungan untuk menilai nilai
seseorang berdasarkan kesuksesan materi atau citra positif yang mereka
tampilkan. Individu yang terlalu menganut pola pikir ini mungkin cenderung
mengabaikan nilai-nilai pribadi dan kualitas manusiawi seseorang, fokus pada
pencapaian atau citra yang dapat dipamerkan.
Hal
ini dapat menciptakan lingkungan yang kompetitif dan menekankan citra positif
tanpa memperhatikan aspek-aspek yang sebenarnya membuat seseorang berharga. Menghindari
penilaian berlebihan terhadap kesuksesan materi atau citra dapat membantu
menciptakan hubungan yang lebih otentik dan membangun rasa penghargaan terhadap
nilai-nilai sejati dalam kehidupan.